Sabtu, 28 April 2012

Pendidikan Multikultural


Pendidikan Multikultural
Oleh:
1.   Marliana Anisa Dewi                    10.0401.0079
2.   Wakhid Adam Sulaiman                10.0401.0085

I.     PENDAHULUAN
Sedikitnya selama tiga dasawarsa, kebijakan yang sentralistis dan pengawalan yang ketat terhadap isu perbedaan telah menghilangkan kemampuan masyarakat untuk memikirkan, membicarakan dan memecahkan persoalan yang muncul dari perbedaan secara terbuka, rasional dan damai. Kekerasan antar kelompok yang meledak secara sporadis di akhir tahun 1990-an di berbagai kawasan di Indonesia menunjukkan betapa rentannya rasa kebersamaan yang dibangun dalam Negara-Bangsa, betapa kentalnya prasangka antara kelompok dan betapa rendahnya saling pengertian antar kelompok. Konteks global setelah tragedi September 11 dan invasi Amerika Serikat ke Irak serta hiruk pikuk politis identitas di dalam era reformasi menambah kompleknya persoalan keragaman dan antar kelompok di Indonesia.
Sejarah menunjukkan, pemaknaan secara negatif atas keragaman telah melahirkan penderitaan panjang umat manusia. Pada saat ini, paling tidak telah terjadi 35 pertikaian besar antar etnis di dunia. Lebih dari 38 juta jiwa terusir dari tempat yang mereka diami, paling sedikit 7 juta orang terbunuh dalam konflik etnis berdarah. Pertikaian seperti ini terjadi dari Barat sampai Timur, dari Utara hingga Selatan. Dunia menyaksikan darah mengalir dari Yugoslavia, Cekoslakia, Zaire hingga Rwanda, dari bekas Uni Soviet sampai Sudan, dari Srilangka, India hingga Indonesia. Konflik panjang tersebut melibatkan sentimen etnis, ras, golongan dan juga agama.
Merupakan kenyataan yang tak bisa ditolak bahwa negara-bangsa Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, budaya, agama dan lain-lain sehingga negara-bangsa Indonesia secara sederhana dapat disebut sebagai masyarakat "multikultural". Tetapi pada pihak lain, realitas "multikultural" tersebut berhadapan dengan kebutuhan mendesak untuk merekonstruksi kembali "kebudayaan nasional Indonesia" yang dapat menjadi "integrating force" yang mengikat seluruh keragaman etnis dan budaya tersebut.

II.      KONSEP PENDIDIKAN MULTIKULTURAL
A.       Pengertian Pendidikan Multikultural
Secara sederhana multikulturalisme bisa dipahami sebagai pengakuan, bahwa sebuah Negara atau masyarakat adalah beragam dan majemuk. Atau dapat pula diartikan sebagai kepercayaan kepada normalitas dan penerimaan keragaman menurut Azyumardi Azra dalam Zakiyuddin Baidhawy (2005).
Pengertian tentang multikulturalisme setidaknya mengandung dua pengertian yang sangat kompleks yaitu multi yang berarti plural, kulturalisme  berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralisme bukan berarti seekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis, namun pengakuan yang memiliki implikasi-implikasi politis, sosial dan ekonomi. Oleh sebab itu pluralisme bersangkutan dengan prinsip-prinsip demokrasi H.A.R. Tilaar (2004).
Pendidikan multikultural adalah merupakan suatu wacana yang lintas batas, karena terkait dengan masalah-masalah keadilan sosial (social justice), demokarasi dan hak asasi manusia. tulus, dan toleran terhadap keanekaragaman budaya yang hidup di tengah-tengah masyarakat plural.
Istilah pendidikan multikultural dapat digunakan pada tingkat deskriptif dan normative, yang menggambarkan isu-isu dan masalah- masalah pendidikan berkaitan dengan masyarakat multikultural. Labih jauh lagi mencakup pengertian tentang pertimbangan terhadap kebijakan-kebijakan dan strategi-strategi pendidikan dalam masyarakat multikultural. Dalam konteks deskriptif ini, maka kurikulum pendidikan multkultural harus mencakup subjek-subjek seperti : toleransi, tema-tema tentang perbedaan etno-kultural, dan agama; bahaya diskriminasi; penyelesaian konflik dan mediasi; HAM; demokrasi dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan Said (2004).
B.       Tujuan  Pendidikan Multikultural
Tujuan pendidikan multikultural ada dua, yakni tujuan awal dan tujuan akhir. Tujuan awal merupakan tujuan sementara karena tujuan ini hanya berfungsi sebagai perantara agar tujuan akhirnya tercapai dengan baik.
Pada dasarnya tujuan awal pendidikan multikultural yaitu membangun wacana pendidikan, pengambil kebijakan dalam dunia pendidikan dan mahasiswa jurusan ilmu pendidikan ataupun mahasiswa umum. Harapannya adalah apabila mereka mempunyai wacana pendidikan multikultural yang baik maka kelak mereka tidak hanya mampu untuk menjadi transormator pendidikan multikultural yang mampu menanamkan nilai-nilai pluralisme, humanisme dan demokrasi secara langsung di sekolah kepada para peserta didiknya.
Sedangkan tujuan akhir pendidikan multikultural adalah peserta didik tidak hanya mampu memahami dan menguasai materi pelajaran yang dipelajarinya akan tetapi diharapakan juga bahwa para peserta didik akan mempunyai karakter yang kuat untuk selalu bersikap demokratis, pluralis dan humanis. Karena tiga hal tersebut adalah ruh pendidikan multikultural Ainul Yaqin (2005).
C.       Metode dan Pendekatan Pendidikan Multikultural
Sebagai sebuah konsep yang harus dituangkan ke dalam sistem kurikulum, biasanya pendidikan multikultural secara umum digunakan metode dan pendekatan (method and approaches) yang beragam. Adapun metode yang dapat digunakan dalam pendidikan multikultural adalah sebagai berikut:
  1. Metode Kontribusi
Dalam penerapan metode ini pembelajar diajak berpartisipasi dalam memahami dan mengapresiasi kultur lain. Metode ini antara lain dengan menyertakan pembelajar memilih buku bacaan bersama, melakukan aktivitas bersama. Mengapresiasikan even-even bidang keagamaan maupun kebudayaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Pebelajar bisa melibatkan pembelajar didalam pelajaran atau pengalaman yang berkaitan dengan peristiwa ini. Namun perhatian yang sedikit juga diberikan kepada kelompok-kelompok etnik baik sebelum dan sesudah event atau signifikan budaya dan sejarah peristiwa bisa dieksplorasi secara mendalam.
Namun metode ini memiliki banyak keterbatasan karena bersifat individual dan perayaan terlihat sebagai sebuah tambahan yang kenyataannya tidak penting pada wilayah subjek inti.
2.      Metode Pengayaan
Materi pendidikan, konsep, tema dan perspektif bisa ditambahkan dalam kurikulum tanpa harus mengubah struktur aslinya. Metode ini memperkaya kurikulum dengan literatur dari atau tentang masyarakat yang berbeda kultur atau agamanya. Penerapan metode ini, misalnya adalah dengan mengajak pembelajar untuk menilai atau menguji dan kemudian mengapresiasikan cara pandang masyarakat tetapi pembelajar tidak mengubah pemahamannya tentang hal itu, seperti pernikahan, dan lain-lain.
Metode ini juga menghadapi problem sama halnya metode kontributif, yakni materi yang dikaji biasanya selalu berdasarkan pada perspektif sejarahwan yang mainstream. Peristiwa, konsep, gagasan dan isu disuguhkan dari perspektif yang dominan.
3.      Metode Transformatif
Metode ini secara fundamental berbeda dengan dua metode sebelumnya. Metode ini memungkinkan pembelajar melihat konsep-konsep dari sejumlah perspektif budaya, etnik dan agama secara kritis. Metode ini memerlukan pemasukan perspektif-perspektif, kerangka-kerangka referensi dan gagasan-gagasan yang akan memperluas pemahaman pembelajar tentang sebuah ide.
Metode ini dapat mengubah struktur kurikulum, dan memberanikan pembelajar untuk memahami isu dan persoalan dari beberapa perspektif etnik dan agama tertentu. Misalnya, membahas konsep “makanan halal” dari agama atau kebudayaan tertentu yang berpotensi menimbulkan konflik dalam masyarakat. Metodeini menuntut pembelajar mengolah pemikiran kritis dan menjadikan prinsip kebhinekaan sebagai premis dasarnya.
4.      Metode Pembuatan Keputusan dan Aksi Sosial
Metode ini mengintegrasikan metode transformasi dengan aktivitas nyata dimasyarakat, yang pada gilirannya bisa merangsang terjadinya perubahan sosial. Pembelajar tidak hanya dituntut untuk memahami dan membahas isu-isu sosial, tapi juga melakukan sesuatu yang penting berkaitan dengan hal itu.
Metode ini memerlukan pembelajar tidak hanya mengeksplorasi dan memahami dinamika ketertindasan tetapi juga berkomitmen untuk membuat keputusan dan mengubah sistem melalui aksi sosial. Tujuan utama metode ini adalah untuk mengajarkan pembelajar berpikir dan kemampuan mengambil keputusan untuk memberdayakan mereka dan membantu mereka mendaptkan sense kesadaran dan kemujaraban berpolitik.
Pendekatan-pendekatan yang mungkin bisa dilakukan di dalam pendidikan kultural adalah sebagai berikut:
  1. Pendekatan Historis
Pendekatan ini mengandaikan bahwa materi yang diajarkan kepada pembelajar dengan menengok kembali ke belakang. Maksudnya agar pebelajar dan pembelajar mempunyai kerangka berpikir yang komplit sampai ke belakang untuk kemudian mereflesikan untuk masa sekarang atau mendatang. Dengan demikian materi yang diajarkan bisa ditinjau secara kritis dan dinamis.
2.      Pendekatan Sosiologis
Pendekatan ini mengandaikan terjadinya proses kontekstualisasi atas apa yang pernah terjadi di masa sebelumnya atau datangnya di masa lampau.  Dengan pendekatan ini  materi yang diajarkan bisa menjadi aktual, bukan karena dibuat-buat tetapi karena senantiasa sesuai dengan perkembangan zaman yang terjadi, dan tidak bersifat indoktrinisasi karena kerangka berpikir yang dibangun adalah kerangka berpikir kekinian. Pendekatan ini bisa digabungkan dengan metode kedua, yakni metode pengayaan.
3.      Pendekatan Kultural
Pendekatan ini menitikberatkan kepada otentisitas dan tradisi yang berkembang. Dengan pendekatan ini pembelajar bisa melihat mana tradisi yang otentik dan mana yang tidak. Secara otolatis pebelajar juga bisa mengetahui mana tradisi arab dan mana tradisi yang datang dari islam.
4.      Pendekatan Psikologis
Pedekatan ini berusaha memperhatikan situasi psikologis perseorangan secara tersendiri dan mandiri. Artinya masing-masing pembelajar harus dilihat sebagai manusia mandiri dan unik dengan karakter dan kemampuan yang dimilikinya. Pendekatan ini menuntut seorang pebelajar harus cerdas dan pandai melihat kecenderungan pembelajar sehingga ia bisa mengetahui metode-metode mana saja yang cocok untuk pembelajar.
5.      Pendekatan Estetik
Pendekatan estetik pada dasarnya mengajarkan pembelajar untuk berlaku sopan dan santun, damai, ramah, dan mencintai keindahan. Sebab segala materi kalau hanya didekati secara doktrinal dan menekan adanya otoritas-otoritas kebenaran maka pembelajar akan cenderung bersikap kasar. Sehingga mereka memerlukan pendekatan ini untuk mengapresiasikan segala gejala yang terjadi di masyarakat dengan melihatnya sebagai bagian dari dinamika kehidupan yang bernilai seni dan estetis.
6.      Pendekatan Berprespektif Gender
Pendekatan ini mecoba memberikan  penyadaran kepada pembelajar untuk tidak membedakan jenis kelamin karena sebenarnya jenis kelamin bukanlah hal yang menghalangi seseorang untuk mencapai kesuksesan. Dengan pendekatan ini, segala bentuk konstruksi sosial yang ada di sekolah yang menyatakan bahwa perempuan berada di bawah laki-laki bisa dihilangkan.
Keenam pendekatan ini sangat memungkinkan bagi terciptanya kesadaran multikultural di dalam pendidikan dan kebudayaan. Dan tentu saja, tidak menutup kemungkinan berbagai pendekatan yang lainnya, selain enam yang disebutkan tadi di atas, sangat mungkin untuk diterapkan. Agar terwujudnya pendidikan yang multikultural di negeri kita Indonesia.
D.      Kelebihan dan Kekurangan Serta Solusinya
1.      Kelebihan Pendidikan Multikultural
Dalam pendidikan multikultural, ada dimensi-dimensi yang harus diperhatikan. Menurut James Blank (2003) ada lima dimensi pendidikan multikultural yang saling berkaitan, yaitu sebagai berikut:
a.         Mengintegrasikan berbagai budaya dan kelompok untuk mengilustrasikan konsep mendasar, generalisasi, dan teori dalam mata pelajaran.
b.         Membawa siswa untuk memahami implikasi budaya ke dalam sebuah mata pelajaran.
c.         Menyesuaikan metode pengajaran dengan cara belajar siswa dalam rangka memfasilitasi prestasi akademik.
d.         Mengidentifikasi karakteristik ras siswa dan menentukan metode pengajarannya.
e.         Melatih kelompok untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan, berinteraksi dengan seluruh siswa dan staf yang berbeda ras dan etnis untuk menciptakan budaya akademik.
2.      Kekurangan Pendidikan Multikultural dan Solusinya
Mengimplementasikan pendidikan multikultural di sekolah mungkin saja akan mengalami hambatan atau kendala dalam pelaksanaannya. Ada beberapa hal yang harus mendapat perhatian dan sejak awal perlu diantisipasi antara lain sebagai berikut:
a.       Perbedaan Pemaknaan terhadap Pendidikan Multikultural
Perbedaan pemaknaan akan menyebabkan perbedaan dalam mengimplementasikannya. Multikultural sering dimaknai orang hanya sebagai multi etnis sehingga bila di sekolah mereka ternyata siswanya homogen etnisnya, maka dirasa tidak perlu memberikan pendidikan multikultural pada mereka. Padahal pengertian pendidikan multikultural lebih luas dari itu. H.A.R. Tilaar (2002) mengatakan bahwa pendidikan multikultural tidak lagi semata-mata terfokus pada perbedaan etnis yang berkaitan dengan masalah budaya dan agama, tetapi lebih luas dari itu. Pendidikan multikultural mencakup arti dan tujuan untuk mencapai sikap toleransi, menghargai keragaman, dan perbedaan, menghargai HAM, menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, menyukai hidup damai, dan demokratis. Jadi, tidak sekadar mengetahui tata cara hidup suatu etnis atau suku bangsa tertentu.
b.      Munculnya Gejala Diskontinuitas
Dalam pendidikan multikultural yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan kebersamaan sering terjadi diskontinuitas nilai budaya. Peserta didik memiliki latar belakang sosiokultural di masyarakatnya sangat berbeda dengan yang terdapat di sekolah sehingga mereka mendapat kesulitan dalam beradaptasi di lingkungan sekolah. Tugas pendidikan, khususnya sekolah cukup berat. Di antaranya adalah mengembangkan kemungkinan terjadinya kontinuitas dan memeliharanya, serta berusaha menyingkirkan diskontinuitas yang terjadi. Untuk itu, berbagai unsur pelaku pendidikan di sekolah, baik itu guru, kepala sekolah, staf, bahkan orangtua dan tokoh masyarakat perlu memahami secara seksama tentang latar belakang sosiokultural peserta didik sampai pada tipe kemampuan berpikir dan kemampuan menghayati sesuatu dari lingkungan yang ada pada peserta didik. Sekolah memiliki kewajiban untuk meratakan jalan untuk masuk ke jalur kontinuitas.
c.       Rendahnya Komitmen Berbagai Pihak
Pendidikan multikultural merupakan proses yang komprehensif sehingga menuntut komitmen yang kuat dari berbagai komponen pendidikan di sekolah. Hal ini kadang sulit untuk dipenuhi karena ketidaksamaan komitmen dan pemahaman tentang hal tersebut. Berhasilnya implementasi pendidikan multikultural sangat bergantung pada seberapa besar keinginan dan kepedulian masyarakat sekolah untuk melaksanakannya, khususnya adalah guru-guru.
Arah kebijakan pendidikan di Indonesia di masa mendatang menghendaki terwujudnya masyarakat madani, yaitu masyarakat yang lebih demokratis, egaliter, menghargai nilai-nilai kemanusiaan dan persamaan, serta menghormati perbedaan.
d.      Kebijakan-kebijakan yang Suka Akan Keseragaman
Sudah sejak lama kebijakan pendidikan atau yang terkait dengan kepentingan pendidikan selalu diseragamkan, baik yang berwujud benda maupun konsep-konsep. Dengan adanya kondisi ini, maka para pelaku di sekolah cenderung suka pada keseragaman dan sulit menghargai perbedaan. Sistem pendidikan yang sudah sejak lama bersifat sentralistis, berpengaruh pula pada sistem perilaku dan tindakan orang-orang yang ada di dunia pendidikan tersebut sehingga sulit menghargai dan mengakui keragaman dan perbedaan.

III.   PENUTUP
Pendidikan multikultural adalah suatu penedekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan yang secara menyeluruh membongkar kekurangan, kegagalan dan praktik-praktik diskriminatif dalam proses pendidikan.
Pendidikan multikultural didasarkan pada gagasan keadilan sosial dan persamaan hak dalam pendidikan. Sedangkan dalam doktrin Islam sebenarnya tidak membeda-bedakan etnik, ras dan lain sebagainya dalam pendidikan. Manusia semuanya adalah sama, yang membedakannya adalah ketakwaan mereka kepada Allah SWT. Dalam Islam, pendidikan multikultural mencerminkan bagaimana tingginya penghargaan Islam terhadap ilmu pengetahuan dan tidak ada perbedaan di antara manusia dalam bidang ilmu.
Pendidikan multikultural seharusnya memfasilitasi proses belajar mengajar yang mengubah perspektif monokultural yang esensial, penuh prasangka dan diskriminatif ke perspektif multikulturalis yang menghargai keragaman dan perbedaan, toleran dan sikap terbuka. Perubahan paradigma semacam ini menuntut transformasi yang tidak terbatas pada dimensi kognitif belaka.
IV.    DAFTAR PUSTAKA
Baidhawy ,Zakiyuddin. 2005.  Pendidikan Agama: Membangun Multikulturalisme Indonesia, dalam Pendidikan Agama Berwawasan Multikultural. Jakarta : PT Gelora Aksara  Pratama
Tilaar, H.A.R. 2004.  Multikulturalisme, Tantangan-tantangan Global Masa Depan dalam Transformasi Pendidikan Nasional. Jakarta: Grasindo. 
Tilaar, H.A.R. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Paedagogik Transformatif Untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
[online].Tersedia:http://andiplampang.wordpress.com/2010/12/09/metode-dan-pendekatan-pendidikan-multikultural/ [1 April 2012].
Banks, James. 1993. Multicultural Eeducation: Historical Development,Dimension, and Practice. Review of Research in Education [online]. Tersedia: http://awankboys.blogspot.com/2010/05/pendidikan-multikultural.html [20 Maret 2012].
Agil, Said. 2004.  Aktualisasi Nilai-nilai Qur’ani dalam Sistem Pendidikan Islam . Jakarta Selatan: Ciputat Press. 
Yaqin,  M. Ainul. 2005. Pendidikan Multural; Cross-Cultural Understanding untuk Demokrasi dan Keadilan.  Yogyakarta:  Pilar Media. 






KURIKULUM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ISLAM (RSBII)


KURIKULUM RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL ISLAM (RSBII)
Resita Lintang Andriana 10.0401.0007
Yosi Provostiana Dewi  10.0401.0059skip to main | skip to sidebar

Pendahuluan
Perkembangan baru terhadap belajar mengajar membawa konsekuensi dalam pendidikan untuk meningkatkan peran dan kompetensinya karena proses belajar mengajar dan prestasi belajar siswa sebagian besar ditentukan oleh peranan kurikulum. Pendidikan yang kompeten akan lebih mampu menciptakan lingkungan belajar yang efektif dan akan lebih mampu mengelola kelas sehingga prestasi belajar siswa berada pada tingkat optimal.(E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm. 53.) Dalam hal ini adalah prestasi belajar PAI. Prestasi belajar PAI adalah penguasaan pengetahuan atau ketrampilan (skill) yang dikembangkan melalui mata pelajaran PAI, yang lazimnya ditunjukkan dengan nilai atau angka yang diberikan oleh guru atau pengajar. Dalam meningkatkan prestasi belajar PAI siswa perlu adanya pengembangan pada kurikulum.
Kurikulum yang baik harus selalu berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan perkembangan zaman, dan sejak tahun 2004-2005 pemerintah telah menetapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sebagai kurikulum yang berlaku di Indonesia.( E. Mulyasa, Op. Cit, hlm. 5-7.) Saat Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif kebijakan untuk meningkatkan mutu pendidikan, yang diberlakukan mulai tahun ajaran 2004-2005. Kurikulum Berbasis Kompetensi sendiri dikembangkan dengan tujuan untuk membekali peserta didik dalam menghadapi tantangan hidupnya di masa depan yang cenderung semakin komplek secara lebih mandiri, cerdas, rasional dan kritis.
Bila dilihat dari berbagai sisi, Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menjadi kurikulum yang memenuhi kesempurnaan secara konseptual. Namun berdasarkan penelitian di lapangan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) menemukan berbagai kendala, terkait dengan pelaksanaannya. Sehingga perlu perangkat khusus yang mengatur secara teknis dan detail tentang pelaksanannya tersebut. Di mana perangkat tersebut disusun berdasarkan pada kesesuaian dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Maka dibentuklah Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dalam menjembatani hal itu. Akhirnya melalui Undang-undang Republik Indonesia, Nomor: 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah RI No. 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, pemerintah melalui Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22, 23, dan 24 tahun 2006 mengamanatkan setiap satuan pendidikan untuk membuat KTSP sebagai pengembangan kurikulum yang akan dilaksanakan pada tingkat satuan pendidikan yang bersangkutan.( Khaeruddin, et, al, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Pilar Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.)
Perkembangan demi perkembangan dalam dunia pendidikan tak lepas dari adanya peran kurikulum yang dilakukan. Sebagaimana yang terjadi dalam rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) terutama pada pendidikan Islam (RSBII).
RSBI atau SBI merupakan kemajuan di dunia pendidikan dengan memperhatikan kualitas pendidikan di mana secara awam ditafsirkan sekolah dengan kualitas lulusan yang mampu menggunakan bahasa inggris khususnya yang sampai saat ini atau bahkan untuk tahun ke depanpun merupakan tolak ukur utama siswa atau seseorang dikatakan mempunyai kemampuan lebih di dunia pendidikan.
Pada dasarnya RSBI dimaksudkan agar mutu pendidikan dapat dimaksimalkan dengan melakukan rintisan sekolah bertaraf internasional dengan menggunakan pengantar bahasa Inggris meskipun tidak mengesampingkan bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. Sebagaimana diketahui secara umum bahwa seseorang dalam merintis arah kehidupan sangat ditentukan oleh kemampuan dan tingkat pendidikan yang dimiliki, di mana sampai saat ini untuk memasuki sekolah yang lebih tinggi dibutuhkan kemampuan lebih atau bahkan untuk memasuki dunia kerja nantinya diutamakan seseorang yang mempunyai berbagai keahlian dan kemampuan. Salah satu yang sampai saat ini yang sangat penting adalah kemampuan menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar, dalam arti mampu aktif berbahasa inggris.
(http://stellamarisserpong.worpress.com/2009/03/13/pengertian-rsbi/)
Pembahasan
1.      Pengertian RSBI Pendidikan Agama Islam
a.      Pengertian RSBI
RSBI merupakan rintisan sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis standar nasional pendidikan Indonesia berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing
internasional.(http://stellamarisserpong.worpress.com/2009/03/13/pengertian-rsbi/)
b. Pengertian Pendidikan Agama Islam
Sementara itu, berkaitan dengan pendidikan Islam maka banyak sekali yang mendefinisikan pendidikan agama Islam, antara lain:
1)      Menurut Zakiyah Darajat, dalam bukunya menjelaskan bahwa pendidikan agama Islam adalah usaha berupa bimbingan dan asuhan terhadap anak didik agar kelak setelah selesai pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran Islam serta dapat menjadikannya sebagai pandangan hidup (way of life). (Zakiyah Darajat, et, al, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 86)
2)      Menurut Muhaimin, mengemukkan bahwa pendidikan agama Islam adalah sebagai usaha sadar, yakni suatu kegiatan  bimbingan pengajaran dan atau latihan yang dilakukan secara berencana dan sadar atas tujuan yang hendak dicapai.
Dari berbagai definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan agama Islam adalah bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menajadikannya sebagai pandangan hidup (the way of life).
Dengan demikian, yang dimaksud RSBI pendidikan agama Islam adalah rintisan sekolah nasional yang menyiapkan peserta didik berbasis standar nasional pendidikan atau SMP Indonesia berkualitas internasional dan lulusannya berdaya saing internasional dengan memberikan bimbingan yang dilakukan secara sadar oleh pendidikannya dapat memahami dan mengamalkan ajaran-ajaran agama Islam serta menajadikannya sebagai pandangan hidup (the way of life).
2. Desain Kurikulum RSBI Pendidikan Agama Islam
Dalam desain kurikulum RSBI pendidikan agama Islam dapat dilihat dari tiga aspek, yaitu:
a.       Materi
Materi pembelajaran pendidikan agama Islam dalam kurikulum RSBI pendidikan agama Islam disesuaikan dengan alokasi waktu yang ditentukan, yaitu sebagai berikut:







No
Mata Pelajaran
Alokasi Waktu Versi RSBI
1
Pendidikan Agama Islam
a. Al-Qur'an Hadits
5 jam dalam satu minggu
b. Fiqih
5 jam dalam satu minggu
c. SKI
5 jam dalam satu minggu
d. Aqidah Akhlak
5 jam dalam satu minggu
2.
Bahasa
a. Bahasa Arab
6 jam dalam satu minggu
b. Bahasa Inggris
6 jam dalam satu minggu
c. Bahasa Indonesia
4 jam dalam satu minggu
3.
Matematika
6 jam dalam satu minggu
4.
IPA
6 jam dalam satu minggu
5.
IPS
5 jam dalam satu minggu
6.
TIK
4 jam dalam satu minggu
7.
Mulok
a. Bahasa Jawa
3 jam dalam satu minggu
b. PKK
2 jam dalam satu minggu
Jumah
51 jam
b.      Proses pembelajaran
Pembelajaran agama Islam dilaksanakan berdasarkan prinsip pembelajaran tuntas melalui jam efektif, maka pelajaran maupun kegiatan pengembangan diri dengan memanfaatkan semua fasilitas dan sumber belajar yang tersedia di sekolah. Pembelajara dikondisikan berpusat pada siswa sedang guru lebih berperan sebagai motivator, fasilitator dan pembimbing.


c.       Tenaga pendidik

Mengajar pada prinsipnya membimbing siswa dalam kegiatan belajar mengajar atau mengandung pengertian bahwa mengajar merupakan suatu usaha mengorganisasikan lingkungan dalam hubungannya dengan anak didik dan bahan pengajaran yang menimbulkan proses belajar. Pengertian ini mengandung makna bahwa guru dituntut untuk dapat berperan sebagai organisator kegiatan belajar siswa dan juga hendaknya mampu memanfaatkan lingkungan, baik yang ada di kelas maupun yang ada di luar kelas, yang menunjang kegiatan belajar-mengajar. Dari definisi yang telah dikemukakan diatas maka mengajar diartikan sebagai suatu usaha atau tindakan guru untuk menyampaikan ilmu pengetahuan dan sekaligus memberikan rangsangan untuk belajar kepada anak didik.
Proses belajar mengajar adalah inti kegiatan dari pendidikan, segala sesuatu yang telah diprogramkan akan dilaksanakan dalam kegiatan belajar mengajar. Departemen Agama RI menyatakan bahwa belajar mengajar sebagai proses dapat mengandung dua pengertian yaitu rentetan tahapan atau fase dalam mempelajari sesuatu dan dapat pula berarti sebagai rentetan kegiatan perencanaan oleh guru, pelaksanaan kegiatan sampai evaluasi dan program tingka lanjut.
Menurut Undang-undang Guru dan Dosen tenaga pendidik harus mempunyai kompetensi guru yang baik. Adapun kompetensi guru dibagi menjadi empat macam, yaitu( Undang-undang Guru dan Dosen Pasal 10 Ayat 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 67. )
1.      Kompetensi Pedagogik
Kompetensi pedagogik adalah kemampuan mengelola pembelajaran peserta didik..
2. Kompetensi Kepribadian
Kompetensi kepribadian adalah kemampuan kepribadian yang mantap, berakhlak mulia, arif dan berwibawa serta menjadi teladan peserta didik.
3. Kompetensi Profesional
Kompetensi profesional adalah kemampuan penguasaan materi secara luas dan mendalam. Kompetensi profesional juga dapat diartikan kemampuan yang berhubungan dengan penyesuaian tugas-tugas keguruan. Kompetensi ini merupakan kompetensi yang sangat penting. Oleh sebab langsung berhubungan dengan kinerja yang ditampilkan. Oleh sebab itu, tingkat keprofesionalan seorang guru dapat dilihat dari kompetensi sebagai berikut:( Saiful Adi, Kompetensi yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Guru, Artikel, 6 Januari 2007.)
a)      Kemampuan untuk menguasai landasan kependidikan
Dalam hal ini guru harus paham akan tujuan pendidikan yang akan dicapai baik tujuan nasional, institusional, dan tujuan pembelajaran.
b)      Pemahaman dalam bidang psikologi pendidikan
Dalam hal ini guru paham tentang tahapan perkembangan siswa dan karakteristik siswa.
c)      Kemampuan dalam penguasaan materi pelajaran sesuai dengan bidang studi yang diajarkannya
Dalam hal ini guru benar-benar menguasai materi yang diajarkan sesuai dengan latar belakang pendidikan guru.
d)     Kemampuan dalam mengaplikasikan berbagai metodologi dan strategi pembelajaran
Dalam hal ini guru dapat menggunakan metode-metode dalam belajar dengan tepat serta dapat menggunakan startegi pembelajaran yang sesuai dengan situasi dan kondisi saat kegiatan belajar mengajar berlangsung.
e)      Kemampuan merancang dan memanfaatkan berbagai media dan sumber belajar
Dalam hal ini guru dapat memanfaatkan media dan sumber belajar yang ada sesuai dengan materi yang diajarkan, ketika media dan sumber belajar kurang memenuhi diharapkan guru dapat berkreasi untuk media yang sesuai dengan materi yang diajarkan.
f)       Kemampuan melaksanakan evaluasi pembelajaran
Dalam hal ini guru sebelum dan setelah mengajar melakukan evaluasi pembelajaran yang efektif serta menggunakan hasilnya untuk mengetahui prestasi dan kemajuan siswa serta dapat melakukan perbaikan dan pengembangan.
g)      Kemampuan dalam menyusun program pembelajaran
Dalam hal ini guru sebelum mengajar diharuskan untuk membuat atau menyusun rencana pembelajaran atau satuan pembelajaran sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditentukan atau sesuai dengan kurikulum yang ada.
4. Kompetensi Sosial
Kompetensi sosial adalah kemampuan guru untuk berkomunikasi dan berinteraksi secara efektif dan efisien dengan peserta didik, sesama guru, orang tua atau wali murid dan masyarakat sekitar.



Analisis Penyelenggaraan RSBI
           Seperti yang telah dikemukakan diatas bahwa sebenarnya dalam pelaksanaan program baru maka terlebih dahulu harus ada analisa agar tidak ada permasalahan dikemudian hari. Berikut analisa penerapan SBI:
Sekolah bertaraf internasional mendapat dukungan penuh dari pemerintah provinsi dan pusat. Karena memang SBI dicetuskan oleh pemerintah serta SBI sudah diatur dalam UU Sisdiknas 50 ayat 3.
Kesimpulan
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kurikulum RSBI pendidikan agama Islam perlu memperhatikan tiga aspek, yaitu aspek materi, aspek pembelajaran dan aspek tenaga pendidikan. Ketiga aspek tersebut memiliki nilai yang sangat besar dalam memajukan kualitas pendidikan bertaraf internasional. Karena aspek-aspek tersebut memberikan konstribusi yang sangat besar dalam pembelajaran terutama pada RSBI pendidikan agama Islam.
Penutup
Demikianlah makalah yang dapat disampaikan, apabila ada kekurangan dan kesalahan dalam pembuatan kami mohon maaf serta dengan senang hati kami menerima SMS (saran, masukan dan solusi) yang bersifat konstruktif. Akhir kata, semoga gambaran RSBII dalam tetesan tinta hitam ini dapat memberikan makna dan khazanah bagi penulis secara pribadi dan bagi para pembaca pada umumnya.








Daftar Pustaka
E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi; Konsep, Karakteristik, dan Implementasi, Remaja Rosda Karya, Bandung, 2003, hlm. 53.)
.( E. Mulyasa, Op. Cit, hlm. 5-7.
Khaeruddin, et, al, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Konsep dan Implementasinya di Madrasah, Pilar Media, Yogyakarta, 2007, hlm. 5.)
Saiful Adi, Kompetensi yang Harus Dimiliki Oleh Seorang Guru, Artikel, 6 Januari 2007.)
(Zakiyah Darajat, et, al, Ilmu Pendidikan Islam, Bumi Aksara, Jakarta, 2000, hlm. 86)
Undang-undang Guru dan Dosen Pasal 10 Ayat 1, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2006, hlm. 67. )